BERZAKAT
Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.“ (QS, Al-Baqarah (2): 267)
Menurut Ulama Fiqih mengenai harta rumah, tanah, perabotan dan kendaraan apabila dipakai sendiri tidak disewakan dan rumah hanya dijadikan tempat tinggal sendiri maka tidak ada zakat. Sebab, barang tersebut tidak bergerak dan tidak menghasilkan keuntungan. Kecuali jika harta tersebut disewakan/direntalkan atau dijual yang menghasilkan uang, apabila cukup nishab maka wajib wajib zakat.
Adapun harta-harta kekayaan yang dimiliki seperti
harta simpanan; emas dan tabungan/deposito jika sudah dimiliki sendiri selama
setahun, cukup nishab maka wajib dizakati 2,5%. Kalau simpanan harta dan
keuntungannya yang diperoleh cukup nishab 85 gram emas (umpama @se-gram emas
Rp. 300.000 x 85 (gram) = 25.500.000) maka wajib mengeluarkan zakat sebesar
2,5%.
sumber: http://www.eramuslim.com/konsultasi/zakat/ingin-berzakat.htm#.Uc0JG3oUbWA
Zikir dalam kehidupan seharian.
Seperti
yang kita tahu, zikir merupakan amalan kerohanian yang diperlukan kepada diri
kita untuk menjadi insan selalu ingat kepada Allah. Sesungguhnya berzikir
kepada Allah SWT merupakan sebaik-baik ibadat kerana Allah SWT menjadikan
ibadah-ibadah yang lain mempunyai kadar dan had serta mempunyai waktu dan
keadaan yang tertentu.
Tetapi
berlainan dengan zikir, Allah SWT tidak menjadikan ibadah zikir itu terhad dan
berwaktu bahkan menyuruh supaya memperbanyakkan amalan tersebut berdasarkan
firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” (Al-Ahzab : 41).
Ketahuilah
bahawa sesungguhnya berzikir kepada Allah merupakan sebaik-baik ibadah,
sebesar-besar ketaatan dan sebenar-benar tanda penghambaan diri kepada Pencipta
bumi dan langit, sama ada berzikir secara senyap atau pun nyaring, sama ada
secara berseorangan atau berkumpulan, sama ada di masjid atau pun di tempat
yang lain, sama ada selepas solat atau pun pada waktu-waktu yang lain.
Sebenarnya
manfaat dari berzikir ini banyak, tetapi perlu ingat, niatkan dalam hati supaya
ikhlas kerana keredhaan kepada Allah, insyallah.
- Zikir melahirkan budi pekerti yang luhur. Dengan mengingati Allah,maka kita akan terhindar dari melakukan perkara yang buruk.Firman Allah: “Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari kitab,dan dirikanlah solat kerana sesungguhnya solat itu dapat menghalangi manusia daripada keburukan dan kemungkaran dan sesungguhnya mengingati Allah (berzikir)lebih besar,dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Al Ankabut 45
- Zikir mendekatkan diri kepada Allah. Firman Allah: “Kerana itu,ingatlah kamu kepadaKu nescaya aku ingat pula kepadamu,dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” Al Baqarah 152
- Zikir boleh menenangkan jiwa. Firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingati Allah.Ingatlah,hanya dengan mengingat Allah,hati menjadi tenteram. Ar Ra”ad 28
- Berzikir memperoleh keampunan. Firman Allah: Lelaki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah(berzikir),Allah telah menyediakan untuk mereka keampunan dan pahala yang besar.” Al Ahzab 35
- Berzikir dapat melepaskan diri dari bahaya. Firman Allah: “Maka Yunus ditelan oleh ikan yang besar.Maka kalau sekiranya,dia tidak termasuk orang-orang banyak mengingat Allah,nescaya ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu hingga hari berbangkit”. As Shafaat 142.
- Berzikir memperoleh pahala yang tinggi. Rasulullah bersabda: “Dua kalimah yang tercinta kepada Tuhan Yang pemurah,ringan diucapkan pada lidah,berat dalam timbangan iaitu: Subhanallahi Wabihamdihi, Subhanallahil Aziim.”(Bukhari dan Muslim) ADAB BERZIKIR Adab berzikir ini dapat fahamkan dariFirman Allah : “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,dan dengan tidak mengeraskan suara,di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” Al ‘Araf 205.
- Mengusir syaitan dan melemahkan kekuatan syaitan.
- Menyebabkan Allah redha
- Menghilangkan perasaan cemas dan kebimbangan.
- Merasa kesenangan dan kebahagiaan dalam hati.
- Menguatkan anggota badan dan fikiran.
- Mencerahkan mata dan hati.
- Membuka pintu rezeki.
- Menghidupkan hati.
- Melindungi dari perangkap dan penyelewengan.
- Allah membanggakan orang yang berzikir di hadapan para Malaikat.
- Membantu kepada semua bentuk ibadah yang lain.
Sumber; http://zikrihusaini.com/mari-berzikir/
PUASA
MARHABAN YA RAMADHAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban” diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah” karena mudah dilalui, tidak seperti “jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang di celahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT.
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Al-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij Al-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban” diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah” karena mudah dilalui, tidak seperti “jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang di celahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT.
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Al-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij Al-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
Sumber: http://hikmah-ramadhan.blogspot.com/2011/08/puasa.html
PENGERTIAN
SOLAT
- Solat dari segi bahasa bermaksud doa atau doa dengan sesuatu kebaikan.
- Dari segi syara‘, solat bermaksud perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan
yang dimulai dengan takbir beserta niat dan diakhiri dengan salam dengan
syarat-syarat tertentu. - Perkataan-perkataan di dalam sembahyang dikenali
sebagai rukun qawliyy.
Manakala perbuatan-perbuatan di dalam sembahyang dikenali sebagai rukun
fi‘liyy dan perlakuan selain daripada perkataan dan perbuatan dikenali
sebagai rukun qalbiyy.
WAKTU SEMBAHYANG
- Waktu sembahyang fardhu lima waktu iaitu Zuhur, ‘Asar, Maghrib, ‘Isya’ dan Subuh telah dinyatakan dengan terperinci dari awal hingga akhir oleh Sunnah Nabi. Secara umumnya, waktu-waktu itu telah dinyatakan oleh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam melalui sabdanya yang bermaksud:
“Jibril telah mengimami saya
sebanyak dua kali. Beliau bersembahyang Zuhur bersamaku ketika tergelincir
matahari dan ‘Asar ketika bayang-bayang sesuatu benda telah sama panjangnya
dengan sesuatu itu, dan Maghrib ketika terbenam matahari dan ‘Isya’ ketika
terbenam syafaq (iaitu cahaya merah) dan Subuh ketika terbit fajar. Pada
keesokan harinya, Jibril bersembahyang bersama saya solat Zuhur ketika
bayang-bayang sesuatu berada sepanjangnya dan ‘Asar ketika bayang-bayang
sesuatu berkedudukan dua kali panjangnya dan Maghrib ketika orang berbuka puasa
dan ‘Isya’ ketika sepertiga malam dan Subuh ketika menguning cahaya pagi.
Kemudian Jibril berkata: Inilah waktu sembahyang Nabi-Nabi sebelum engkau.
Waktu sembahyang adalah di antara waktu ini.”
- Secara terperincinya, waktu-waktu bagi setiap solat fardhu adalah seperti berikut:
1. Waktu
Zuhur bermula dengan tergelincir matahari (zawal), iaitu matahari condong
daripada tengah-tengah langit ke arah barat dengan keadaan sesuatu benda
mempunyai sedikit bayang ketika matahari terpacak dan matahari mula condong ke
arah barat. Waktu Zuhur berakhir apabila bayang sesuatu benda menjadi sama
panjang dengannya.
2. Waktu
‘Asar (solat al-wusta) bermula dengan berakhirnya waktu Zuhur, iaitu apabila
bayang sesuatu benda yang sama panjang dengan benda itu mula bertambah dengan
pertambahan yang paling minimum. Ia berakhir dengan terbenamnya matahari.
3. Waktu Maghrib, ia bermula dengan terbenam matahari dan berterusan sehingga hilang cahaya syafaq (cahaya merah) dengan tidak kelihatan sedikitpun kesannya.
3. Waktu Maghrib, ia bermula dengan terbenam matahari dan berterusan sehingga hilang cahaya syafaq (cahaya merah) dengan tidak kelihatan sedikitpun kesannya.
4. Waktu
‘Isya’ bermula dengan tamatnya waktu Maghrib, iaitu hilang syafaq ahmar (cahaya
merah) dan berterusan hingga munculnya fajar sadiq, iaitu beberapa ketika
sebelum naik fajar.
5. Waktu
Subuh bermula dengan muncul fajar sadiq dan berterusan hinggalah naik matahari
(syuruq). Fajar sadiq ialah cahaya putih yang menyerlah mengikut garis lintang
ufuk.
WAKTU-WAKTU YANG DITEGAH MELAKUKAN SOLAT
- Terdapat lima waktu yang telah dinyatakan oleh Sunnah sebagai waktu yang ditegah untuk melakukan sembahyang di dalamnya, iaitu:
1. Selepas
sembahyang Subuh hingga terbit matahari.
2. Semasa
naik matahari hingga kadar ramh, iaitu lebih kurang satu pertiga jam selepas
naiknya matahari.
3. Waktu
matahari tegak (rembang) sehingga matahari tergelincir (masuk waktu Zuhur).
4. Selepas
sembahyang ‘Asar hingga terbenam matahari.
5. Waktu
matahari kekuningan sehingga terbenam.
- Tegahan untuk melakukan sembahyang pada waktu-waktu ini bukanlah mutlaq, tetapi khusus pada jenis sembahyang tertentu sahaja, iaitu:
1. Semua
sembahyang yang tidak ada sebab untuk melakukannya pada waktu-waktu itu seperti
sembahyang sunat mutlaq dan sembahyang sunat tasbih.
2.
Sembahyang yang sebab melakukannya terkemudian seperti sunat ihram dan
istikharah.
- Semua sembahyang ini jika dilakukan pada waktu-waktu tersebut hukumnya makruh tahrim yang sangat ditegah dan sembahyang itu juga menjadi batal. Pengecualian kepada sembahyang yang telah disebut ialah beberapa sembahyang tertentu iaitu:
1.
Sembahyang yang mempunyai sebab untuk melakukannya seperti sembahyang yang
telah luput (qadha’), jenazah, nazar, sunat wudhu’ dan tahiyyatul masjid.
2.
Sembahyang yang mempunyai sebab yang seiringan dengan waktu itu seperti
sembahyang kusuf (gerhana) dan istisqa’ (minta hujan).
3.
Sembahyang Jumaat ketika matahari tegak.
4.
Sembahyang di Tanah Haram Makkah kerana kelebihan sembahyang itu sendiri.
Sumber: http://smzblog.wordpress.com/2008/04/02/solat-dan-pengertian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar